Pulang (2)

Pulang (1)

Fania tampak begitu anggun dalam balutan gaun pengantin putihnya. Wajah cerianya tersapu make-up maksimal yang membuatnya jadi semakin cantik. Di mataku, Fania memang selalu terlihat sempurna.

Sebagai seorang perempuan aku akui tidak pernah melihat seseorang secantik Fania. Dia cantik karena wajahnya, dia juga menawan karena sikapnya dan yang paling penting dia bisa memikat siapa saja dengan hatinya yang selapang lautan.

Tegakah aku merusak kesempurnaan itu dengan perasaanku yang tidak pada tempatnya?

"El, bantuin pasangin kancing belakang gaun gue lagi dong," suara Fania membuyarkan lamunanku tentangnya. Di depanku, dia menyodorkan punggung untuk kututup dengan gaun indahnya.

Aku mengusap punggung itu sekilas sebelum menuruti permintaannya. Ini sudah ketiga kalinya Fania minta dipasangkan kancing gaun pengantin yang bertengger di sepanjang punggung itu. Dia mengaku sangat gugup sehingga tidak bisa menahan panggilan alam untuk pergi ke toilet. Alhasil aku yang ditunjuk sebagai  maid of honor-nya ini sibuk bolak-balik melepas dan memasang kancing gaunnya hanya untuk pipis.

Seolah aku bisa tahan saja.

"Gila, gue nervous banget, El. Gue takut Sangga salah ngomong pas ijab kabul," aku Fania dengan wajah cemasnya.

"Relax, Fan. Sangga kan udah sering latihan, jadi nggak mungkin dia masih salah. Lo berdoa aja semoga pernikahan ini lancar," hiburku setengah hati. Sebenarnya, sebagian dalam diriku justru berharap pernikahan ini gagal. Kalau bukan aku yang merusaknya, semoga saja alam semesta mendengar doaku untuk menghentikan mimpi buruk ini. Ya, aku akui aku memang sahabat yang sangat jahat.

"Semoga, ya, El. Suatu saat nanti lo juga pasti ngerasain apa yang gue rasain sekarang. Ya nervousnya, ya takutnya, ya khawatirnya," cetusnya.

Aku memilih tidak menyahut. Dalam diam aku tersenyum pahit, berharap dia bisa membaca pikiranku.

Aku tidak pernah berpikir akan menikah suatu saat nanti. Harapan itu sudah kukubur dalam-dalam seiring dengan upacara pernikahan yang akan segera dilaksanakan Fania dan Sangga dalam beberapa menit ke depan.

Yang tentu saja merenggut semua mimpi-mimpiku.

***

New York, 10.09 am

Satu hal yang membuatku tersadar ketika kembali menginjakkan kaki di New York pagi ini, "pulang" bukanlah pilihan tepat bagiku. Tempatku adalah di sini, jauh dari segala hal yang membuat hatiku tercabik di Jakarta.

Ketika pesawatku mendarat dengan mulus di Bandara Internasional JFK, aku baru bisa bernapas lega. Bukan karena aku selamat, tetapi karena hal itu menandakan bahwa aku sudah berpuluh-puluh ribu kilometer jauhnya dari pasangan berbahagia yang sangat ingin aku hindari saat ini.

Pernikahan Sangga dan Fania berjalan lancar, selancar jalan bebas hambatan. Hal-hal buruk yang kuharapkan terjadi seolah malu untuk tampil di acara sakral itu. Seharusnya aku memang tidak pernah mengharapkan hal yang buruk saat orang lain tengah berbahagia.

Aku tahu aku memang pengecut. Aku hanya bisa berharap ini-itu dan membiarkan perasaanku tersimpan dalam hati tanpa berani kuungkapkan. Sepucuk surat yang kuberikan untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya pun kurasa tidak akan pernah sampai ke tangannya.

Pada akhirnya, aku hanya akan menjadi dua orang berbeda di mata Sangga dan Fania: menjadi Daniella, sahabat terbaik sepanjang masa atau menjadi Daniella si perusak kebahagiaan orang.

Aku memilih menjadi Daniella yang pergi diam-diam sambil mendoakan kebahagiaan mereka. Aku memilih menjadi Daniella, sahabat terbaik bagi keduanya.

Well, ini saatnya aku menghentikan pikiran liarku dan mulai kembali ke kenyataannya. Kenyataan adalah, aku dihadapkan pada dua koper identik yang salah satu di antaranya pasti milikku. Aku mengambil yang hitam di bagian kanan dan mulai mendorongnya menuju ke pintu keluar bandara.

"Excuse me," aku mendengar sapaan yang kemungkinan besar ditujukan kepadaku. Saat menoleh, aku melihat seseorang yang sepertinya familiar di mataku.

"I think you took the wrong luggage," lanjutnya sambil menunjuk koper hitam di sisiku.

Mengabaikan ucapannya, aku malah memperhatikan dia dengan seksama. Tampaknya dia juga melakukan hal sama terhadapku.

"We met before!" Seruku saat menyadari siapa yang ada di hadapanku. Dia adalah perempuan yang tempo hari mengembalikan buku catatanku yang sengaja kutinggal di kedai kopi.

"Yes, we did!" Balasnya tak kalah bersemangat. Dia mengulurkan tangannya dengan gestur ramah, "Rachel."

"Daniella. Nice meeting you and I'm so sorry about your luggage," sesalku yang dibalas Rachel dengan gelengan kepala.

"It's okay. It happens sometimes," dia tersenyum. Senyum itu mengingatkanku pada seseorang. Tiba-tiba saja aku merasa deja vu, seperti pernah melewati pengalaman ini dengan seseorang yang kukenal baik di masa lalu.

Saat baru saja akan menggali ingatanku, dia sudah menyodorkan kopernya untuk minta ditukar. Aku menyorongkan koper di tanganku dan mengambil milikku darinya.

"Okay, I think I should go. See you arround, Daniella," pamitnya.

Entah mengapa aku merasa keberatan saat dia menyebut salam perpisahan. Tanpa pikir panjang, aku menahan dia agar tidak jadi beranjak meninggalkanku.

"Do you have time? You know, we could have some coffee in the coffee shop we met the other day," ajakku penuh harap.

Aku sudah berpikir bahwa dia akan menolakku. Tetapi saat kulihat dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya, aku tahu aku salah besar.

***

Jakarta, same time, Sangga

"Sayang, aku lihat kemarin Daniella kasih kartu ucapan khusus ke kamu. Tapi aku belum baca isinya karena nggak ada di tumpukkan kado-kado itu," Fania menghampiriku yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur dengan gerakan perlahan.

Aku memandang wajah cantiknya sepenuh hati. Kedua matanya tampak membulat tanda dia sedang penasaran. Diam-diam aku mengeluh dalam hati, haruskah aku memberi tahu dia segalanya? Tegakah aku?

"Hm... menurut kamu Daniella itu gimana orangnya?" Kataku berusaha mengulur waktu, juga mengalihkan pikirannya. Secara perlahan kuusap wajahnya. Wajah yang hampir dua dekade selalu menghiasi hari-hariku dan semakin sulit aku singkirkan dari ingatanku saat aku mulai sadar bahwa aku mencintainya.

"Kamu nanyanya aneh. Ya, tentu aja dia itu sahabat paling baik, paling setia, dan paling penyayang yang mungkin nggak akan pernah aku temuin dalam jutaan tahun ke depan. Aku pikir kamu juga pasti ngerasain hal yang sama kan?" Tanyanya yang kubalas dengan anggukan pasti.

"Pendapatku juga nggak jauh beda dengan kamu. Jadi sebaiknya ayo kita ingat Daniella sebagai sosok yang kamu sebutin tadi supaya nggak ada Daniella lain yang ada di pikiran kita," ajakku yang tentu saja membuatnya heran.

"Maksud kamu apa?"

"Maksud aku...," aku mengusap tangannya dengan lembut lalu pindah ke dahinya, "kamu singkirin kerutan di kening kamu yang aneh ini. And let me love you..."

Kemudian, Fania lupa dengan semua pertanyaannya tadi saat aku mulai berada dalam dirinya untuk menyatukan cinta kita, selamanya.

***

Dear Sangga,

Saat lo membaca surat ini, mungkin gue udah ada di pesawat yang membawa gue balik ke New York. Gue berharap lo gak keberatan membaca ini sejenak di tengah-tengah kebahagiaan lo. Setengah mati juga gue berharap lo baca ini sendiri, tanpa ditemani Fania yang sekarang sudah sah jadi istri lo.

Gue tau mungkin lo pikir aneh karena tiba-tiba aja gue kasih surat ini ke lo. Trust me, I feel the same way too.

Belasan tahun kita bareng-bareng sebagai sahabat, kita udah tau luar-dalam masing-masing, sampai akhirnya lo memutuskan untuk mengubah status dari sahabat ke pacar dengan Fania, itu pun gak membuat gue heran lagi, Ngga. Because I know, in the end, it will happens eventually.

Namun ada beberapa hal yang gak lo tau. Saat lo pikir Fania adalah gadis tercantik yang pernah lo temui semasa hidup lo, diam-diam juga gue merasa hal yang sama. Saat lo mati-matian nyari perhatian Fania supaya lo bisa jadi lebih dari sahabatnya, gue juga melakukan usaha yang sama. Dan saat lo mencintai dia sedalam-dalamnya layaknya seorang pria ke wanita, gue berharap bisa jadi lo yang juga bisa mencintai dia dengan cara yang sama.

Gue tau lo pasti anggap gue gak normal. Gue mengidap kelainan. Gue penyakitan yang udah seharusnya lo tempatin jauh-jauh dari pujaan hati lo supaya dia gak ketularan. Tapi yang perlu lo tau, perasaan gue tulus buat Fania, Ngga.

Lo gak tau betapa besarnya keinginan gue untuk menghancurkan pernikahan lo dengan Fania. Tapi saat gue lihat binar bahagia di matanya, gue sadar. Rasa sakit gue melihat dia bersanding dengan lo, gak sebanding dengan rasa cinta gue ke dia.

Besar banget, Ngga. Sampai gue pikir gue bisa hancur karenanya.

Gue tahu lo berdua pasti punya pertanyaan besar tentang alasan kenapa gue memutuskan pindah ke New York beberapa tahun lalu. Dulu gue ngasih beribu alasan yang mungkin menurut lo berdua gak pernah masuk di akal.

Karena alasan sebenarnya gak pernah bisa gue kasih tau. Alasan sebenarnya adalah ini. Gue gak sanggup lihat kalian berdua bahagia, sementara gue sendiri tercabik.

Maafkan atas segala perasaan gue yang gak pada tempatnya ini, ya, Ngga. Maafkan karena gue membeberkan perasaan gue yang gak tau diri ini ke lo dan mungkin akan membuat lo terbebani. Maafkan gue, Ngga...

Tapi yang perlu lo tau, dari sini gue akan selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian. Selamanya.


Daniella

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teen Wolf

Day Ten