Pulang

Apa yang pertama kali terpikir oleh orang-orang ketika mendengar kata ‘pulang’?

Mungkin sebagian berpikir tentang rumah dan sebagian lainnya berpikir tentang keluarga. Pada dasarnya, keduanya memang tujuan utama dari ‘pulang’. Namun dalam kamusku, ‘pulang’ tidak berarti demikian. ‘Pulang’ menurut versiku adalah hal yang paling ingin kuhindari, entah untuk apapun alasannya.

Selama beberapa waktu lamanya aku masih memegang prinsip itu, sampai seseorang dari masa laluku berhasil mematahkannya, membuatku mengubah haluan. Aku pulang. Entah untuk dirinya, ataupun untuk keadaan. Tetapi aku pulang.

Excuse me,” Usik sebuah suara. Aku menoleh dan mendapati seseorang yang sedang berusaha mensejajarkan langkahnya denganku. “I believe you left this notebook in coffee shop you just visited,” ia mengulurkan sebuah buku catatan yang kukenal dengan baik.

Aku tidak langsung menyambut uluran tangannya dan justru malah mengamatinya dengan seksama. Namun sepertinya tatapanku cukup mengganggunya karena sekarang ia sudah mengubah cara senyumnya dari senyum manis menjadi senyum tidak enak.

I’m sorry, it’s not like what you’re thinking. I’m not a stalker or anything. I just…”

I know,” potongku sambil tersenyum maklum. Aku mengambil buku catatan itu dari tangannya yang masih terulur. “And yes, this book is mine. But actually I left this in there on purpose.” Aku menimbang buku catatan itu sebentar sebelum memasukkannya ke dalam tasku.

Is that so?” ia tidak repot-repot menyembunyikan keterkejutannya. “I thought this notebook is so important for you because I saw you…” ia tidak meneruskan kalimatnya. Well, sekarang aku tahu, ia memang memperhatikanku selama aku berada dalam kedai kopi tadi. Dan ia jadi merasa bersalah karenanya, meskipun sebenarnya ia tidak perlu merasa bersalah karena apapun.

You’re right. Maybe this notebook is important for me. I just hate to admit it,” aku menggeleng pelan sambil tersenyum padanya dan ia membalasku dengan senyum yang begitu hangat. Wow. Dia manis. Aku memalingkan wajah pada jam tangan untuk menutupi rasa gugupku. “Gotta catch my flight now. And thank you for this, by the way,”

You are welcome,” ia melambaikan tangannya padaku sementara aku membalas seadanya. Di depan, petugas imigrasi sudah menunggu untuk memeriksa passportku. Aku tahu mungkin aku akan menyesal dengan keputusanku ini. Tapi, yah, pada akhirnya aku pulang. Aku benar-benar akan kembali.

***

Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi,”

Aku menekan opsi ‘end’ pada layar ponselku dan kembali meletakkan benda persegi panjang tersebut di atas meja. Ini sudah ketiga kalinya aku menghubungi nomor yang sama. Namun jawaban yang kudapat tetap saja berasal dari suara mesin penjawab telepon, bukannya dari si pemilik ponsel. Aku mendesah pelan. Apa sebaiknya kubatalkan saja janjiku dengannya? Lagipula aku sudah menunggunya selama setengah jam dan ia masih belum juga datang. Aku juga sudah merasa jengah dengan suasana kafe yang mulai ramai ini.

Kembali aku bernegosiasi dengan diriku sendiri dan akhirnya memutuskan untuk menunggu lima belas menit lagi. Jika dalam lima belas menit dia tidak datang juga, maka aku akan pergi saja dari sini.

Tepat setelah aku mengambil keputusan finalku dalam hati, pintu kafe terbuka. Disusul oleh sosok perempuan yang masuk ke dalamnya. Tubuh tinggi semampai dan wajah cantiknya berhasil membuat beberapa pengunjung kafe menoleh ke arahnya. Namun ia tidak begitu memperhatikan keadaan tersebut, dan malah sibuk melongokkan kepala ke sana ke mari seperti sedang mencari seseorang.

Yah, akulah seseorang itu.

Kulambaikan tangan untuk memperoleh perhatiannya sambil tak lupa menyerukan namanya. Tak sampai dua detik ia sudah menangkap keberadaanku. Senyum lebar tersungging di wajahnya. Dengan langkah agak tergesa-gesa ia menghampiriku.

“Daniellaaaaa, sori telat,” serunya ketika ia sudah berada di mejaku. Aku bangkit dari kursiku untuk menyambut pelukannya. Kami sama-sama tertawa ketika menyadari bahwa sekarang kami sudah loncat-loncat sambil berpelukan. Lupakan imajinasimu tentang teletubbies yang sedang berpelukan! Ini hanyalah pelukan dua sahabat yang sudah begitu lama tidak bertemu.

Begitu kami melepas pelukan, ia langsung mengedarkan matanya dan memandangku dari atas ke bawah, seperti meneliti perubahan apa saja yang ada pada diriku. “You look so great, Darla. How’s New York?”

Great. Sama sekali nggak kepikiran buat pulang ke Indonesia kalo bukan lo yang minta,” kataku setengah becanda.

“Nggak mungkin banget lo tega melewatkan hari pernikahan sahabat lo sendiri,” Fania terkekeh pelan. “Eh, bentar lagi Sangga dateng. Rencananya gue sama dia mau fitting kebaya sama jas. Lo ikut aja ya? Sekalian gue mau minta pendapat lo juga. Eh iya, lo tau nggak Sangga tuh ternyata lucu juga ya? Nervous-nya dia dalam menyambut pernikahan kami tuh semacam nervous-nya ibu-ibu mau melahirkan! Lo tau nggak sih, masa dia…”

Dan sementara mendengarkan Fania bercerita tentang rencana pernikahannya, pikiranku kembali berkelana pada ingatanku bertahun-tahun lalu. Saat aku, Sangga, dan Fania masih bersahabat dekat, tanpa membiarkan perasaan lain merusaknya. Perasaan yang bagiku adalah sebuah anugerah, namun justru perasaan itu juga yang menghancurkanku hingga berkeping-keping. Perasaan yang sampai saat ini masih kusembunyikan, baik pada Sangga dan Fania, maupun pada dunia.

Perasaan cintaku padanya.


*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hujan dan Dia

Day Ten