Hujan dan Dia




Aku benci hujan. Aku benci keadaan dimana aku harus merasakan tanah basah di bawah sepatuku dan cipratan air yang mengotori pakaianku. Aku benci saat segala bentuk pencegahan yang kupakai dibawah guyuran air hujan, malah semakin memperburuk keadaan. Payung yang kupakai kadang malah sudah rusak terbawa angin bahkan sebelum aku sampai di tempat tujuan. Jas hujan yang paling tebal sekalipun tidak banyak membantu, aku tetap saja kebasahan.

Tapi dia berbeda. Dia yang kukenal, sangat menyukai hujan. Hujan mengantarkanku pada dimensi waktu yang berbeda. Kamu tahu? Waktu seakan berhenti saat aku mencoba menantang hujan dengan cara menengadahkan wajah ke langit. Itu yang pernah ia katakan padaku. Konyol, balasku saat itu. Bukankah menyakitkan, menantang air hujan yang turun begitu keras ke bumi dengan wajah yang menengadah ke langit?

***
“Kamu ngapain sih hujan-hujanan begitu? Kayak anak kecil tau, nggak!” omelku saat lagi-lagi Rasya datang ke rumahku dengan pakaian basah kuyup dan sepatu yang sama mengenaskannya.

Rasya malah tersenyum dengan riang, seolah omelanku barusan serupa dengan kicauan burung di pagi hari. “Bagus dong kalau aku kayak anak kecil. Itu artinya aku awet muda,”

“Aku nggak bilang muka kamu yang kayak anak kecil, tapi kelakukan kamu. Kenapa sih kamu suka banget ujan-ujanan? Masa kecil kamu kurang bahagia ya?”

Ia tertawa renyah. Ah, mendengar tawanya, membuat kemarahanku luruh seketika. Rasya memiliki jenis tawa yang menular, membuatku mau tak mau ikut tertawa.

“Aku pernah merasakan bahagianya main hujan-hujanan waktu kecil dulu. Makanya aku selalu ingin mengulangnya saat sekarang aku udah dewasa supaya bisa ngerasain kebahagiaan yang sama,” ia berujar sambil mengusap kepalaku pelan. Selalu seperti ini. Rasya selalu bisa membuatku tak mampu berkata-kata. Ia terlalu kuat hingga bahkan orang keras kepala sepertiku saja, kehilangan cara untuk menaklukannya.

Saat aku masih meresapi rasa yang ia tinggalkan di bawah sentuhannya, ia sudah masuk ke dalam rumahku. Jejak-jejak kaki yang ia tinggalkan, tak urung membuat lantai rumah yang baru saja ku pel dan hampir mengering menjadi basah kembali. Oke. Ia boleh saja memiliki sejuta pesona yang mampu membuat lututku lemas, tapi ia tidak boleh membuatku mengerjakan pekerjaan rumah yang sama untuk kedua kalinya.

“RASYAAA!!!”
***

Taksi yang membawaku akhirnya berhenti di tempat tujuan. Satu jam perjalanan yang kulewati di dalam taksi, terasa seperti selamanya. Begitulah rasanya ketika kita sedang menantikan sesuatu. Waktu seperti sedang mempermainkan kita, membuatnya menjadi terasa jauh lebih lama.

Setelah menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu dan mengucapkan terima kasih pada supir, aku turun dari taksi. Hujan deras menyambutku begitu aku menginjakkan kaki di atas tanah merah yang becek. Berusaha menahan diri untuk tidak mengeluarkan payung di dalam tas yang terutup rapat, aku berjalan dengan langkah ringan menuju ke tempat tujuanku yang sebenarnya. Tinggal sebentar lagi.

“Hei, aku datang,” ucapku pada langit. Pada hujan. Padanya, yang kutahu sudah menungguku di sana dengan senyuman terindah yang selalu kuingat.

***

“Ini kan beras ketan? Kamu mau bikin apa sih emangnya?” Tanyaku pada Rasya sambil menunjuk karung kecil yang ada di dalam trolley.

“Nasi, kan? Emang apa bedanya beras ketan dengan beras putih biasa?” Rasya malah balik bertanya. Kebingungan terpeta jelas di wajahnya. Gosh, dia benar-benar clueless.

“Rasya,” kataku sehalus mungkin. “Mendingan kamu nunggu di kasir aja dan biarin aku belanja sendiri.”

“Kenapa begitu?” Ia masih berkeras.

“Karena daritadi kamu cuma masuk-masukin barang-barang nggak jelas ke dalam trolley kita. Dan aku capek harus balik-balikin barang itu ke tempat semula. Kita cuma mau bikin Spaghetti, Sya. Yang kita butuhkan cuma pasta, daging giling, bawang Bombay dan saus Spaghetti.” Jelasku panjang lebar dengan sikap tak sabar. “Dan coba liat ini, untuk apa kamu masukin beras ketan ke sini? We don’t need this, okay?”

Rasya mendekatiku yang saat ini sedang menunjukkan protes kecilku padanya. “Do you know? You look sexier when you're mad.” Katanya sambil mencium pipiku singkat.

Aku tahu, mengajak Rasya belanja ke supermarket adalah ide buruk. Dan keadaan tersebut diperparah dengan ulahnya barusan yang berhasil mengantarkan semburat merah pada pipiku yang aku yakin sekarang sudah menyebar ke seluruh wajahku.

“Rasya!!! Kita lagi di tempat umum!!!” bentakku marah. Tapi hatiku memberontak, meneriakkan rasa yang sebaliknya.

“Aku tahu kok kalau ini tempat umum.” Rasya mengusap pipiku dengan ibu jarinya. “Al, aku tahu acara belanja ini akan lebih baik kalau bukan aku yang nemenin kamu. Oleh karena itu, untuk memperbaikinya, ayo kita menikah. Dan aku janji akan belajar menjadi temen belanja kamu yang menyenangkan.”

Selesai mengatakannya, ia pun lantas tersenyum. Lalu tertawa. Dan aku tahu keadaan tidak akan pernah sebaik ini jika bukan ia yang bersamaku.

***

Aku sudah tiba di sini. Di sebelah sebuah gundukkan tanah merah yang basah terkena guyuran air. Lima tahun telah berlalu, sejak kepergian Rasya ke hadapan yang Maha Kuasa. Tapi sepertinya aku masih sama saja seperti yang dulu. Aku masih tidak menyukai hujan. Yah, meskipun sekarang sudah sudah jauh baik. Karena aku tahu, hujan selalu bisa menyembunyikan air mataku yang tidak bisa kutahan saat aku mengenangnya. Jangan menangis.

“Rasya, aku datang lagi. Aku tau mungkin kamu udah bosan melihatku. Tapi nggak tau kenapa aku nggak pernah bosan. Mungkin karena sekarang aku sulit untuk melihat kamu. Nggak seperti dulu,”

Jangan menangis.

“Rasya, Ibu bilang umurku sekarang udah terlalu tua untuk hidup sendiri. Kamu nggak tersinggung kan, Sya, Ibu bilang gitu? Kalau aku aja udah tua, berarti kamu apa dong? Kamu kan jauh lebih tua daripada aku. Tapi nggak juga sih, kamu kan udah berhenti menua di umur dua puluh tujuh. Hahaha. Kamu kayak vampire, ya, Sya? Kamu berhenti menua di umur yang masih muda…”

Jangan menangis.

“Sya, kemarin ada anak teman Ibu yang datang melamarku. Orangnya baik, kerjaannya bagus, daaaan dia lumayan ganteng juga. Kata Ibu aku cocok sama dia. Menurutmu gimana?”

Jangan menangis.

“Kalau kamu diam berarti kamu setuju ya dengan pendapat Ibu? Aku juga, Sya. Kurasa ini sudah waktunya bagiku melepasmu pergi. Menangis dan meraung memintamu kembali juga nggak akan mengubah keadaan kan, Sya? Kamu tetap di sana. Jauh dan sulit untuk kujangkau.

“Rasya, kamu adalah cintaku. Sampai kapanpun tidak akan pernah berubah. Tapi aku harus terus bergerak, Sya. Melanjutkan segala sesuatu yang dulu sempat terhenti karena kepergianmu. Dan satu-satunya cara untukku melanjutkan hidup adalah dengan merelakanmu pergi. Mengikuti alur hidup yang sudah ditentukan untukku. Bagaimana kalau begitu, Sya? Apa kamu akan marah padaku?

“Aku janji akan selalu mengenangmu sebagai satu-satunya cinta yang membawa kebahagian untukku. Aku nggak akan pernah melupakan semua yang telah kita lalui bersama karena bagiku itu semua terlalu berharga untuk kulupakan begitu saja.

“Rasya-ku. Awan gelapku yang selalu membawa hujan. Selama aku masih bisa merasakan air hujan ini, kamu akan selalu, dan selalu ada di dalam hatiku. Kusimpan di bagian terdalam hatiku dan akan kubuka saat waktunya tiba. Saat aku bertemu lagi denganmu.”

Ketika aku berdiri dan beranjak meninggalkan tempat itu, hujan perlahan mulai berhenti. Awan gelap yang berarak di langit, saling memisahkan diri untuk memberikan celah bagi matahari agar bisa memancarkan sinarnya. Aku memandang ke langit dengan perasaan membuncah, aku tahu Rasya mendengarku. Aku tahu ia selalu ada bersamaku.

Sampai jumpa, Rasya.

***


Jangan menangis jika aku pergi, Al. Kalaupun kamu ingin menangis, menangislah di bawah hujan. Karena hujan akan menyembunyikan air matamu dan membawa pergi segala macam kesedihan. Aku mencintaimu, dulu, sekarang, dan juga nanti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Day Ten

The Last Day

Pulang