The Last Day
Dua Delapan
Kita masih
begitu muda saat itu. Begitu manis. Begitu bening. Begitu naif. Begitu
menggebu-gebu. Begitu mudah tersulut.
Ketika aku bertanya tentang cinta, kamu
menjawabnya bukan dengan kata-kata, melainkan dengan cara yang tak pernah
kubayangkan sebelumnya.
Katamu cinta adalah….
Saat kamu berada di bawah pohon
beringin, menunggu aku yang masih berseragam sekolah, berlari-lari kecil
menghampirimu. Rambutku bergoyang-goyang mengikuti gerakanku. Wajahku berminyak
tanpa riasan sedikitpun. Mulutku mengerucut sebagai bentuk protes kecil padamu
yang selalu datang tiba-tiba. Tapi kamu tetap tersenyum menyambutku sambil
berkata, “hari ini aku bolos
sekolah, supaya bisa jemput kamu.”
Menurutmu cinta adalah….
Saat kamu, dengan sisa kekuatan yang
kamu miliki, mendorong motor mogok untuk dibawa ke bengkel di tengah acara
kencan romantis kita. Aku menggerutu kesal, menyalahkanmu yang selalu membuatku
susah. Kamu membalasnya dengan, “nanti
juga kamu bakal inget kejadian ini sebagai kenangan paling indah.”
Bagimu cinta adalah….
Saat kita berada di bawah naungan langit
yang membawa hujan. Kamu mendekap hangat tubuhku untuk menghalau rasa dingin
yang tanpa sadar telah menampar-nampar wajahku. Lalu kamu meletakkan bibir
manismu di atas milikku. Gerakan itu mengantarkan getar lain yang membuat
hatiku hampir meledak karena luapan rasa bahagia. Dan kamu menutupnya dengan, “ini yang pertama buatku. Kamu
juga, kan?”
Tapi untukku cinta itu berbeda.
Saat kita bertengkar. Saat aku meluapkan
segala emosiku. Saat semua kenangan bersamamu berubah menjadi ratusan pedang
yang menusuk tubuhku dari segala arah, tanpa ampun, tak mau berhenti. Saat aku
merasakan berkali-kali lipat rasa sakit karena dikhianati. Kamu mencecarku
dengan, “kamu boleh pergi ke
manapun, sejauh apapun, sampai kamu pikir aku nggak akan pernah bisa
menemukanmu. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku nggak akan pernah
meninggalkan kamu, sekalipun yang terus kamu lakukan adalah sebaliknya.”
Ini lucu. Bagaimana mungkin satu ingatan
tentang seseorang bisa membawa berbagai macam rasa?
Tapi dari berbagai macam rasa yang saat
ini sedang kurasakan, yang paling tidak bisa kuredam adalah perasaan bahagia.
Rupanya kamu benar-benar menepati
janjimu untuk tidak pernah meninggalkanku, sampai sekarang. Sampai saat ini aku
menulis surat terakhirku untukmu. Sampai saat ini aku diam-diam mengamati
fotomu yang baru saja kamu unggah. Sampai saat ini aku mengamati kalender dan
melihat tanggal yang paling kusukai menghiasi permukaannya.
28.
Ya, selamat tanggal 28, Sayang.
Dan untuk tanggal 28 berikutnya, you’ll always be my reverse. And my
favorite mistake.
Komentar
Posting Komentar